Matahari kala itu berhasrat memihak ke arah barat, berhasil menghantarku dalam angan-angan. Ibu melihatku terpemangu depan teras rumah, lantas memijakan kakinya ke arahku. Berlunjur persis di sebelahku.
“Berkenan untuk berbagi pikiran dengan Ibu, Nak?” tanya beliau seraya mengusap pucuk kepalaku.
Desiran angin menerpa pepohonan serta rambutku dan Ibu, membuat mata kami menyipit demi menghalau debu. Bersamaan dengan pikiranku yang gulana, “Ibu, boleh aku tanya dua hal?”
“Tentu, berapapun boleh.”
Aku menghela nafas berat sekaligus menengokkan kepala ke arah Ibu, beradu mata, “Kenapa ya Bu, manusia kalau sudah datang, pasti akan pergi?”
Aku menghela nafas sekali lagi, hendak melanjutkan pertanyaan. Kali ini mengalihkan pandanganku, menahan bulir bening yang hendak jatuh. Tidak sanggup mengagah Ibu.
“Kenapa ya Bu, Bapak pergi cepat sekali?”
Matahari kini terlihat tumbang di arah barat, menghasilkan perpaduan jingga kegelapan dan kuning yang berbaur. Menciptakan atmosfer antara Aku dan Ibu semakin pilu. Beliau meraih kepalaku dengan lembut pada tumpuan bahunya.
Ibu tersenyum, “Nak,” tangannya tidak pernah absen mengusap kepalaku, “jika bisa diibaratkan, hidup itu layaknya sebuah buku pelajaran sekolahmu.”
Aku lanjut mendengarkan, belum berniat memberi respon.
“Mari kita ambil contoh dari pelajaran kesukaanmu, geografi. Bab pertama geografi membahas konsep wilayah tata ruang, dan bab kedua mempelajari pola keruangan desa kota, betul?”
Aku mengangguk. Mencoba memahami.
Ibu menghela nafasnya, dengan senyuman yang masih terukir. “Dengarkan baik-baik, Nak. Sekarang Ibu ambil permisalan. Pada bab pertama, kamu menghabiskan waktu untuk mempelajari konsep wilayah tata ruang dengan rasa senang, kamu amat menyukai materinya sebab menurutmu cukup mudah dan mengasyikan.”
Ibu menengok ke arahku, pembahasan ini semakin intens, “Hingga sampai waktu dimana kamu mencapai titik dari bab pertama. Yang menandakan bab pertama sudah berakhir dan kamu harus lanjut untuk mempelajari bab kedua. Kemudian pada bab kedua, tanpa kamu duga, ternyata terdapat materi hitung-hitungan di dalamnya. Materi yang paling kamu tidak sukai, dimana menunjukkan bab kedua lebih sulit dari bab pertama. Namun, kamu tetap belajar, kamu tetap berusaha untuk mempelajari bab kedua dengan sungguh-sungguh agar kamu dapat berkembang, hingga akhirnya kamu bisa menguasainya. Hingga akhirnya kamu sampai pada titik dari bab kedua. Hingga akhirnya kamu telah melewati fase sulit dari bab kedua.”
Aku mendengarkan. Mulai paham maksud Ibu.
“Kira-kira seperti itulah hidup, Nak. Kamu tidak akan terus-menerus berada di satu bab. satu waktu. Perihal Bapak yang pergi, anggap saja akhir dari bab pertamamu adalah ketika kamu sudah beranjak usia tujuh belas tahun, dan saat ini kamu sedang mencapai titik pada bab pertama. Kamu merasa amat terpuruk namun mau tidak mau dunia akan tetap berjalan dan kamu tetap harus melanjuti hidup, melanjuti bab kedua yang menjadi tahap pendewasaan. Kemudian lambat laun kamu akan menyadari bahwa kepergian Bapak memang sudah semestinya. Bapak pergi bukan tanpa tujuan, tetapi supaya kamu bisa membangun pilar utuh yang kokoh di dalam dirimu untuk menghadapi bab kedua sebelum melanjutkan beratnya bab ketiga. Berkenaan dengan datang dan pergi, memang semesta sedang ingin memberi unjuk bagaimana cara agar manusia dapat lebih menghargai dan mensyukuri.”
“Menghargai dan mensyukuri?” aku mengerutkan dahi, “Bukannya dua hal itu memang sepatutnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari ya, Bu? Jadi, apa korelasinya?”
Beliau terkekeh kecil mendengar pertanyaanku. “Betul, Nak. Sangat betul.” Ibu mengalihkan pandangannya ke arah jumantara berada. Angin berdesir dua kali lipat. Terlihat mata sayup Ibu yang melukiskan senyuman ke arah ornamen cakrawala yang kini terlihat lebih gelap. “Sayangnya, terkadang manusia sering lupa bahwa setiap manusia lain yang singgah, baik sementara maupun dalam jangka waktu yang tidak ditentukan, mereka semua tetap memiliki jatah waktu masing-masing.”
“Kalau begitu, pertanyaanku masih sama, kenapa manusia singgah bila ujungnya sirna?”
“Setiap manusia yang singgah, mereka pasti memiliki alasan. Mungkin untuk menjadikan diri kamu lebih dewasa, mungkin untuk membuat kamu merasa lebih baik dalam sementara waktu, mungkin juga hanya sekedar menjadi teman bercerita dalam sehari. Mereka hilang bisa begitu cepat, bisa juga begitu lambat, tidak menentu. Tidak menentu juga tidak bisa diprediksi sebab jatah waktu dari masing-masing mereka berbeda dan sudah ditetapkan, Nak.”
“Artinya, ketika jatah waktu setiap manusia yang ada di bagian hidup kita telah selesai, lebih baik direlakan saja ya, Bu?”
“Tepat. Ingat Nak, ada tiga tahapan yang harus dilakukan ketika manusia sedang singgah maupun usai bersinggah; menghargai, mensyukuri, dan merelakan. Menghargai waktu sebaik-baiknya ketika sang insan itu ada, mensyukuri eksistensinya, dan ikhlas — bentuk merelakan yang paling baik.”